Inovasi pendidikan menjadi
topik yang selalu hangat dibicarakan dari masa ke masa. Isu ini selalu
juga muncul tatkala orang membicarakan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan pendidikan. Dalam inovasi pendidikan, secara umum dapat diberikan
dua buah model inovasi yang baru yaitu:
Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional selama ini.
Pertama "top-down model" yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional selama ini.
Kedua
"bottom-up model" yaitu model inovasi yang bersumber dan hasil ciptaan
dari bawah dan dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan
penyelenggaraan dan mutu pendidikan. Disamping kedua model yang umum
tersebut di atas, ada hal lain yang muncul tatkala membicarakan inovasi
pendidikan yaitu: 1). kendala-kendala, termasuk resistensi dari pihak
pelaksana inovasi seperti guru, siswa, masyarakat dan sebagainya,
2).
faktor-faktor seperti guru, siswa, kurikulum, fasilitas dan dana
3).
lingkup sosial masyarakat.
Berbicara mengenai inovasi
(pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery.
Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil
karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya
telah ada sebelumnya). Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha
menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha)
invention dan discovery.
Dalam kaitan ini Ibrahim (1989)
mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide,
barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi
seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa
hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan
tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah 1992: 80). Proses dan
tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah pengembangan
(development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination),
perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan (implementation)
dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992: 77).
Pelaksanaaan
inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dari
inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi pendidikan seperti
yang dilakukan di Depdiknas yang disponsori oleh lembaga-lembaga asing
cenderung merupakan "Top-Down Inovation". Inovasi ini sengaja diciptakan
oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha
untuk meningkatkan efisiensi dan sebagainya.
Inovasi seperti ini
dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak,
menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik
untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk
menolak pelaksanaannya. Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh
Depdiknas selama beberapa dekade terakhir ini, seperti Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Guru
Pamong, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar Jarak
Jauh dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas
bekerjasama dengan lembaga-lembaga asing seperti British Council, USAID
dan lain-lain banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam
begitu saja. Model inovasi yang demikian hanya berjalan dengan baik pada
waktu berstatus sebagai proyek. Tidak sedikit model inovasi seperti
itu, pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak
mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu
sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator di
Kanwil dan Kandep.
Sedangkan model 'Top-Down Innovation", model
itu kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide,
pikiran, kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang
umumnya disebut model "Bottom-Up Innovation" Ada inovasi yang juga
dilakukan oleh guru-guru, yang disebut dengan "Bottom-Up Innovation".
Model yang kedua ini jarang dilakukan di Indonesia selama ini karena
sitem pendidikan yang sentralistis.
Pembahasan tentang model
inovasi seperti model "Top-Down" dan "Bottom-Up" telah banyak dilakukan
oleh para peneliti dan para ahli pendidikan. Sudah banyak pembahasan
tentang inovasi pendidikan yang dilakukan misalnya perubahan kurikulum
dan proses belajar mengajar. White (1988: 136-156) misalnya menguraikan
beberapa aspek yang bekaitan dengan inovasi seperti tahapan-tahapan
dalam inovasi, karakteristik inovasi, manajemen inovasi dan sistem
pendekatannya.
Selain itu, Kennedy (1987: 163) juga membicarakan
tentang strategi inovasi yang dikutip dari Chin dan Benne (1970)
menyarankan tiga jenis strategi inovasi, yaitu: Power Coercive (strategi
pemaksaan), Rational Empirical (empirik rasional), dan
Normative-Re-Educative (Pendidikan yang berulang secara normatif).
Strategi inovasi yang pertama adalah strategi pemaksaaan berdasarkan
kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan
kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan
kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan
serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan.
Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan
ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran
dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang sebenarnya merupakan
obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik
dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Para inovator hanya
menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan bukan sebagai subyek yang
juga harus diperhatikan dan dilibatkan secara aktif dalam proses
perencanaan dan pengimplementasiannya.
Strategi inovasi yang
kedua adalah empirik Rasional. Asumsi dasar dalam strategi ini adalah
bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga
mereka akan bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini inovator
bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang
terbaik valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping itu,
strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik seperti apa yang
dikatakan oleh Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya
dkk (1991), di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode
mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan
situasi dan kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di
berbagai bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi
untuk bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman
dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik
dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian
dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi tersebut.
Jenis
strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif (pendidikan
yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang didasarkan pada
pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt
Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991), yang menekankan
bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan seperti perubahan
sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia.
Dalam
pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman pelaksana
dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat dilakukan berulang
kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di
sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi berulang kali melaksanakan
perubahan-perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan.
Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan
pada proses mendidik dibandingkan dengan hasil dari perubahan itu
sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi yang dominan
sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan
berkali-kali agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak
pencipta dan pelaksananya dapat tercapai.
Inovasi pendidikan
sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi
harus melibatkan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator,
penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu,
keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua
faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas.
Inovasi
pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil
dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah
penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh
baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi
yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang
langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta
sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh
karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan
suatu inovasi yang mereka ciptakan.
Daftar Rujukan Lihat DI SINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar